Mereka yang Membuat Saya Terus Membaca
Beberapa waktu lalu saya sempat menulis Untuk Kawan sebagai rasa terima kasih saya pada mereka yang membuat saya membaca. Dan saat ini, saya ingin sedikit mengekspos satu-per-satu mereka yang secara langsung berpengaruh terhadap bacaan saya. Entah bagian ini akan ada di berapa episode, tapi untuk kali ini saya ingin merekomendasikan tiga orang paling penting yang sadar-tidak-sadar sudah membuat saya terus membaca.
Dayinta sudah membuat saya membaca selama enam tahun lebih. Kami tidak terlalu banyak bertukar referensi, atau selalu membicarakan buku tiap kami bertemu. Tidak. Di sela-sela pertemuan, kedai kopi, chat WA, video call itu, cerita-ceritanya membuat saya terus ingin mencari sisi apik dari banyak hal. Tidak terlalu banyak kata-kata di blog Day, karena ia lebih banyak “membaca” lewat kamera dan “menulis” lewat gambar. Day bercerita lewat film, lewat sinar matahari dan intuisinya menangkap banyak hal. Ia membaca buku untuk memaknai semuanya itu, dan fotonya tidak menjadi asal-mata-senang tapi juga bisa bercerita seperti buku-buku yang ia baca. Blognya sungguh adem bikin tenang.
Tulisan-tulisan Pepe adalah jenis tulisan bagus yang membuat saya memberanikan diri untuk menyapa penulisnya. Saya menyapanya pertama kali di Twitter bulan November 2016 setelah membaca salah satu tulisannya (agak lupa yang mana). Lalu sempat beberapa kali binge-reading blogpost yang ia tulis dari zaman kuliahnya di Sastra Rusia UI (*uhuk*habis-bagus-bagus*uhuk*). Pepe adalah salah satu orang yang menurut saya jernih, lugas, dan detail dalam berpikir. Artikel opininya sudah beberapa kali masuk di kanal media, dan saya sering kali menemukan pencerahan baru dari ulasan buku ia tulis. Dan percayalah, puisi, cerpen, dan catatan jurnalnya sama asiknya dengan tulisan akademiknya. Saya suka caranya melihat banyak hal, dan konsistensinya menulis di blog memungkinkan saya bisa mengintip sedikit perjalanan pemikirannya. Rasanya senang sekali bisa bertemu dengan Pepe dan belajar banyak darinya soal membaca detail dan perlahan. Saya sering sekali mencatat caranya membangun argumen dalam ulasan, tapi tidak jarang juga ia membuat saya tertawa dengan selera humornya yang absolute (kaya vodka kesukaannya) itu. Yawla-gusti-aku-terkagum pada sebuah kebetulan bisa mengenal Pepe, mungkin kalo ketemu orangnya langsung akyu jadi grogi. Saya jadi membaca (lalu menyukai) Yevgeny Zamyatin dan Khairani Barokka juga karena bosque ni, dan berhutang banyak hal baru padanya. Seperti sebuah impian untuk terus bisa membaca apa yang ia baca, dan membaca apa yang ia tulis.
She’s back omg omg omg omg. Saya sudah mengikuti tulisan dan bacaan-bacaan Rara sejak 2010-circa-tumblr (i guess) dan diam-diam menjadi *uhuk*penggemarnya*uhuk*. Saya pun membaca karenanya, dan terharu sekali ketika ia memutuskan untuk rutin menulis blog lagi. Saya ingat dulu ia pernah menulis cerpen bagus tentang pertemuan di lift, dan puisi-puisinya sering bikin saya mesem-mesem sendiri. Pertama kali saya mengenal Anton Chekhov pun dari Rara dan karena dialah juga saya juga mulai mencoba baca Isabel Allende (walopun belum ada yang selesai cry). Kalian harus mampir ke blognya membaca “Ode to Invoice yang Enggak Cair” dan mengikuti catatan-catatan dari kedai kopi Fillmore kesukaannya.
The Path to the Nest of Spiders – Italo Calvino (1947)
Novel ini adalah novel pertama Calvino yang ditulis pada tahun 1947 ketika ia berusia 23 tahun. Ceritanya adalah mengenai seorang anak kecil bernama Pin yang tinggal bersama kakak perempuannya yang bekerja sebagai pelacur. Ia terlibat bentrok dengan tentara Nazi Jerman, lalu kemudian bertemu dengan Cousin dan banyak kelompok-kelompok partisan. Sebagai anak kecil di dunia orang dewasa, ia bertindak layaknya seorang dewasa, walaupun sebenarnya ia tidak pernah mengerti dan tertarik. Pin hanya ingin menunjukkan pada “kawan-kawannya” tentang sebuah rahasia bahwa laba-laba ternyata punya sarang. Pin sadar bahwa sebagai anak kecil, rahasianya ini tidak akan dianggap serius oleh orang dewasa. Ia menjadi terobsesi pada sebuah pistol, simbol sebuah daya agar orang dewasa mau mendengarkan, dan ia juga terlibat di dalam segala tegangan, konflik, patriotisme (dangkal maupun dalam), termasuk seksualitas pria dewasa. “But, after all, is this only a struggle between symbol?’” (hal. 115). Perang bukanlah milik Pin, sarang laba-laba itulah miliknya yang berharga.
Perang Dunia II dan akhir masa itu memang sangat membekas di pikiran banyak orang, baik yang mengalaminya secara langsung atau generasi sesudahnya. Saya sebenarnya tidak terlalu banyak membaca cerita berlatar Perang Dunia II, tapi setelah saya ingat-ingat, novel-novel yang saya selesaikan kebanyakan mengambil perspektif atau mengisahkan anak kecil. The Boy in the Striped Pyjamas karya John Boyne adalah salah satu yang paling fenomenal. Namun, saya juga sangat terkesan dengan Number the Stars-nya Lois Lowry, juga The Book Thief karya Markus Zusak dan Between Shades of Gray karya Ruta Sepetys. Dan saya juga baru ngeh kalau empat cerita brilian itu sebenarnya adalah “cerita baru”, ditulis bertahun-tahun setelah PD II berakhir di mana informasi mengenai kemah konsentrasi Jerman, atau situasi di Eropa Timur sudah lebih jernih.
Lalu bagaimana dengan novel The Path, cerita tentang PD II yang ditulis dari pengalaman penulis sekaligus mengambil perspektif kenaifan anak kecil? Apakah ada bedanya dengan novel-novel kontemporer tadi?
Mungkin hal pertama yang harus saya jabarkan sedikit dulu adalah karakter cerita-cerita tentang PD II yang ditulis oleh mereka yang mengalaminya. Seberapa magis dan surealisnya, cerita-cerita itu membawa pembacanya mengikuti sebuah memori. Ceceran perasaan takut, putus asa, kesedihan sesungguhnya berbaur dengan banyak hal termasuk absurditas dan pertanyaan-pertanyaan reflektif tentang hidup dan menjadi manusia. Kurt Vonnegut dalam Slaughterhouse-Five memilih untuk menertawakan dimensi waktu dalam perang (terserah kita juga mau menentukan ini novel sebenarnya mau bilang soal apa, penulisnya saja suka-suka and so it goes) dan Joseph Heller dengan Catch-22 ingin menarik absurditas dan “kegilaan” perang berdasarkan ingatannya selama bergabung dengan US Army Air Corps. Sedangkan Akiyuki Nosaka dalam Grave of the Fireflies ingin menunjukkan sisi menyakitkan perang dan meneguhkan kutuk habis-habisan kita terhadap peristiwa itu melalui memori tewasnya sang ayah dalam pemboman di Kobe dan saudara perempuannya yang meninggal karena malnutrisi. The Little Prince, meskipun tidak secara gamblang menggunakan latar PD II, pun lahir dari pengalaman Antoine de Saint-Exupéry ketika pesawatnya terjatuh di gurun Sahara. Beberapa simbol kekerasan dan ketamakan manusia pun muncul dalam cerita itu.
Tentu kita tidak perlu menentukan saklek apakah tulisan berdasar pengalaman itu lebih baik atau buruk daripada yang berdasarkan sejarah. Saya hanya ingin menekankan bahwa dalam cerita berdasarkan pengalaman, kita (atau paling tidak saya) lebih dapat merasakan sedikit lebih banyak diri penulis. Plot dan penokohan cerita berdasarkan pengalaman PD II tidak selalu rapi atau kuat ketimbang novel kontemporer berlatar PD II lainnya, tapi ia mengandung kedalaman diri penulis, seperti ada ketelanjangan yang terekspos melalui kata-kata dan membuat kita berada dalam dua kemungkinan posisi: terhanyut dalam emosi ingatan penulis, atau menjadi rancu, tidak dapat lagi menentukan tokoh siapa mempengaruhi siapa dan akhirnya pun mempertanyakan linearitas momen-momen perang.
Novel The Path tidak lepas dari hal ini, meskipun tentu Calvino memiliki caranya sendiri dalam bercerita. Sebagai seorang partisan, Calvino seperti ingin menumpahkan beban ideologi aktivismenya sekaligus menunjukkan “ini lho situasi perang tu seribet ini.” Perspektif anak kecil diambil untuk mengekspos keras pesan itu sekaligus menjadi petunjuk tentang cara Calvino melihat apa yang terjadi selama PD II, sebuah kacamata ketidakmengertian. Rasanya memang sedikit janggal karena cara bernarasinya berbeda dengan tiga “maha”-fiksi lainnya yang sudah pernah saya baca (Invisible Cities, On a Winter’s Night a Traveler, dan Cosmicomics). Namun, membaca novel ini sebenarnya membawa saya pada dua pengertian. Satu, tentang cara bernarasi Calvino muda, dan dua, tentang pergeseran cara berpikir Calvino mengenai pengalaman penulis serta pengaruhnya terhadap cerita.
Pengantar Calvino dalam buku ini akhirnya menjadi sebuah panduan penting mengenai konteks pengalaman dan proses penulisan novel The Path. Ia menyadari bahwa novel ini menandai periode literasinya sebagai penulis muda. Dalam penggunaan bahasa dan penggambaran latar, Calvino memasukkan ideologinya termasuk perdebatan-perdebatan politik yang diselipkan dalam percakapan atau refleksi pribadi tokoh. Baginya, cara seperti ini adalah sebuah keterampilan tersendiri, namun juga memaksakan; penokohan dan ekspresi-ekspresinya seakan berlebih karena dalam kenyataannya, ada kebingungan atas nuansa dan respon terhadap situasi terhadap perang dan resistensi itu sendiri. Calvino melihat hal itu sebagai beban kepenulisannya. Keterlibatannya dalam gerakan Resistensi membuat dirinya ingin menunjukkan bahwa di dalam gerakan itu tidak ada satu pun pahlawan tunggal, semuanya seperti berbaur dalam tegangan. Calvino menyesal. Ketika menulis novel ini seakan semuanya jernih, alasan, argumen, nuansa puitis, namun ketika ia membacanya lagi, novel ini sesungguhnya tak berbentuk, membingungkan.
Novel ini bukan hanya menyajikan cerita tentang tegangan perang, namun ia juga menjadi menjadi batu pijakan untuk kita dapat memahami imajinasi dan dinamika teknik narasi Calvino yang brilian itu. Ia berefleksi habis-habisan mengenai proses kepengarangannya, tentang buku pertamanya: apakah penulis yang tak memiliki buku pertama justru adalah penulis bebas, tidak terikat oleh kenangannya sendiri yang tertoreh dalam tulisan? Calvino melihat bahwa justru beban itulah yang harus dibawa oleh seorang penulis, beban ingatan dan luka lama yang sepertinya terus terkuak tiap membuka kembali buku pertamanya. Dari situlah dirinya bisa menulis lepas dari pengalamannya sendiri, untuk kemudian menulis tentang yang tidak hadir dan mengungkap kebenaran subtil di luar ingata, di dalam imajinasi. Tanpa novel ini, kita tidak akan bisa membaca Cosmicomics atau cerita-cerita fantastisnya yang lain.
The Whole Story and Other Stories – Ali Smith (Anchor Books 2003)
Saya tahu Ali Smith karena lini masa saya di akhir tahun ramai oleh buku barunya Winter. Oh oh siapa dia~~~ Setelah sedikit kepo ternyata Ali Smith adalah penulis Skotlandia yang novel dan cerita-cerita pendeknya sudah cukup banyak dan terkenal. Oh ya benar, saya sekilas juga melihat namanya di beberapa pengantar buku-buku terbitan NYRB Classics. Maka penasaranlah saya dan mencoba membaca tulisannya. Salah satu strategi adalah dengan tidak membaca novelnya terlebih dulu, agar supaya ekspektasi tidak berlebihan. Secara acak saya memilih kumcer ini sebagai pertemuan pertama saya dengan tulisan Smith. Hasilnya …. sungguh tidak mengecewakan awawawa~
Kumcer ini berisi 12 cerita, yang memang tidak semuanya konsisten uwow bagus sekali, namun memberikan kesan ya-gusti-kok-kepikiran. Sebagai bocoran, sebagian besar kumcer ini bermain-main dengan tiga hal: (a) bentuk cerita, (b) diksi berima (yang curiga saya akan menyulitkan penerjemahan), dan (c) kata ganti orang kedua. Secara plot tidak ada yang unik, tapi saya sangat terkagum dengan caranya bermain-main dengan bentuk; dialog yang secara substansi fuzzy tapi strukturnya rapi. Seperti misal dalam cerita berjudul “believe me,” Smith membukanya dengan “I’m having an affair, I said. No, you’re not, you said.” Dan yak, dimulailah teka-teki pendek (nan asik) tentang siapa selingkuh dengan siapa eh ternyata kita sama-sama selingkuh oh wait really jadi selingkuhan kita adalah …. ((silahkan baca sendiri)). Cara bernarasinya tidak sulit, tidak membuat kita berpikir terlalu keras, apalagi dengan penggunaan kata ganti orang kedua, kita seakan diajak bergabung dalam variasi kompleksitas urip orang-orang di dalam cerita itu.
Kalau beberapa penulis cerpen tidak suka pembacanya menarik benang merah dari keseluruhan buku, Ali Smith justru tidak demikian. Kumcer ini dimulai dengan cerita berjudul “the universal story” yang sebenarnya memberikan petunjuk tentang cara membaca buku ini. Cerita itu seperti menancap langsung, memberikan dorongan kuat bagi saya untuk terus mencari tahu ada apa setelah cerita ini. Seriusan, “the universal story” is an ultimate opening story. Ia menjadi pintu gerbang paling subtil yang pernah saya tahu dalam sebuah kumcer, dan penyusunan-penyusunan cerita berikutnya seperti mengikuti cerpen pertama itu. Kompleksitas urip itu nyata, kawan, dan siapa bilang kumpulan cerita tidak bisa menangkap ide besar dalam penggalan-pengalan? Oh, judul kumcernya saja The Whole Story, sodara-sodari~
Leave a Reply